Pesta Horja adalah merupakan suatu pesta yang dilakukan untuk merayakan selesainya pembangunan makam nenek moyang atau leluhur.
Pedersen (1975:22) mengatakan bahwa :
Masyarakat Batak Toba harus memperhatikan adat dan melaksanakannya karena diancam hukum-hukum bencana seperti penyakit, wabah kelaparan dan lain-lain sebagainya.
Dengan latar belakang kenapa harus dilakukan pesta Horja, membuat masyarakat Batak Toba berusaha melaksanakan upacara-upacara yang berhubungan dengan penghormatan kepada arwah-arwah leluhur (sumangot ni daompung).
Aturan dalam agama Kristen lebih menekankan bahwa hubungan yang mati dan hidup sudah tidak ada lagi.
Kekuatan alam di muka bumi ini adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang saat ini dimanifestasikan masyarakat Batak Toba sebagai Debata Mula Jadi Nabolon.
Seperti yang teman-teman sibatakjalanjalan.com ketahui bahwa Debata Mula Jadi Nabolon dipercaya oleh orang Batak bisa mendatangkan keburukan dan kebaikan bila disembah dan adanya ‘pengorbanan’ di suatu tempat baik pada suatu tempat di gunung, pada pohon besar, gua-gua dan sebagainya.
Manusia Batak dan kebudayaan Batak memiliki keterikatan yang sangat erat satu sama lainnya.
Secara keseluruhan unsur dalam kebudayaan Batak Toba tersebut mempunyai sifat keterikatan dengan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan para leluhurnya, dan hal ini kemudian secara otomatis membuat masyarakat Batak Toba berusaha mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam kehidupan mereka.
Contoh salah satu bentuk adat istiadat yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba seperti halnya Pesta Horja adalah apa dikenal sebagai pesta peresmian tugu.
Pesta peresmian Tugu merupakan suatu acara yang dilakukan setelah nenek moyang keluarga suatu marga Batak bisa bersatu.
Dalam hal ini bisa dipersatukan oleh anak cucu marga yang bersangkutan yang masih hidup ataupun sudah berada pada suatu makam tertentu.
Maka diadakanlah suatu pesta perayaannya dengan mengundang semua unsur-unsur yang terlibat dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Secara keseluruhan kegiatan ini tidak terlepas dari unsur kehidupan lainnya misalnya kegiatan religi, kegiatan adat istiadat dan kegiatan ekonomi.
Hukum adat adalah norma-norma yang mengatur sistem kehidupan manusia yang pada awalnya adalah hasil pemikiran manusia dan telah menjadi kebiasaan hidup yang menguasai kehidupan manusia itu sendiri (masyarakat) dalam lingkungan adat tersebut.
Norma dan kebiasaan tersebut menjadi pedoman yang bisa mengarahkan kehidupan masyarakat tersebut.
Hal ini berhubungan dengan yang disebutkan Schreiner (1978:20) yaitu :
Adat sebenarnya merangkum semua lapangan kehidupan agama dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan dan kematian.
Maka adat atau hukum itu bukan hanya memberikan penetapan dengan seksama untuk setiap hal satu persatu.
Tuntutan adat yang telah dilaksanakan turun-temurun adalah berlandaskan petuah dari para leluhur yang mengatakan :
Tuatma na dolok martungkot siala gundi, napinungka ni na dijolo adat dohot uhumi ihutonon ni na dipudi.
Artinya Turunlah menelusuri gunung atau bukit bertongkatkan kayu siala gundi, leluhur atau nenek moyang yang menciptakan adat dan hukum, kita keturunannya yang akan melanjutkan berikutnya.
Pesta Horja dilaksanakan karena tuntutan adat pada masyarakat Batak Toba. Karena meskipun orang Batak telah jauh merantau ke mana pun ke ujung bumi ini, bila pesta Horja tidak diadakan, orang Batak yang bersangkutan akan merasa ada sesuatu yang kurang lengkap dalam hidupnya.
Hal ini kemudian akan memunculkan kekuatiran akan terjadi sesuatu karena pesta Horja tidak dilaksanakan.
Artinya orang Batak yang tetap memegang filsafat sebagai bagian kebudayaan Budaya Batak merasa masih kurang menghormati nenek moyang atau leluhurnya, dan masyarakat pun akan menilai keturunan ini na somaradat (tidak beradat), dan akan dicemooh dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
Adapun kemudian masyarakat Batak Toba mempercayai bila menghormati leluhur dengan menjalankan adat dengan baik akan mendatangkan kebaikan dan keselamatan.
Dalam melaksanakan pesta Horja tentu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Penting diketahui bahwa tidak semua keluarga yang bersangkutan mampu membiayai pesta Horja yang akan dilaksanakan, baik keluarga yang berada di kampung maupun keluarga yang berada di perantauan belum tentu dapat mengumpulkan biaya untuk pesta ini.
Maka pada suatu saat diadakanlah rapat keluarga yang dipromotori keluarga yang berada di kampung dan mengundang beberapa perwakilan anggota keluarga yang berada di perantauan.
Lalu kemudian diputuskanlah pesta horja ini harus terlaksana.
Untuk keberlangsungan acara Pesta Horja yang akan dilakukan, diharapkan kepada anggota keluarga yang lebih mapan untuk dapat lebih banyak berkontribusi dalam hal materi demi terselenggaranya pesta Horja.
Dalam pesta horja ini yang berperan sebagai pekerja (pelaksana) kegiatan yang disebut sebagai Parhobas adalah Paidua Suhut (anggota keluarga) yang masih satu keturuan dari Ompung paling atas garis keturunannya.
Mereka saling membantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing.
Bila dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan pesta horja, tentu sering mendapat kritikan bahwa Pesta Horja ini sangat bertentangan dengan hukum ekonomi, salah satunya bahwa Pesta Horja dilakukan kepada orang-orang yang sudah mati, padahal biaya itu dapat dipergunakan untuk biaya hidup maupun untuk pendidikan keluarga yang kurang mampu.
Tetapi hukum adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba tidak dapat diukur secara rasio dan hukum-hukum ekonomi.
Masyarakat Batak Toba selalu berusaha meningkatkan taraf hidup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk pemenuhan kebutuhan adat yang harus dilakukan.
Selain faktor ekonomi, faktor ‘prestise’ atau gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat merupakan faktor yang paling penting yang melatarbelakangi terselenggaranya pesta horja ini.
Ada tiga jenis aktualisasi hidup dalam kehidupan sosial orang Batak Toba yaitu: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon.
Hamoraon artinya kekayaan
Dengan kekayaan ini marga yang melakukan pesta Horja dapat menunjukkan kepada marga lain bahwa marga mereka mampu secara materi melaksanakan pesta ini karena keturunannya mempunyai kekayaan yang cukup untuk itu.
Hal ini dapat kita lihat cara memberi makan para undangan, hewan yang akan dikurbankan, pakaian dan perhiasan yang mereka pergunakan.
Bila suatu marga mampu menunjukkan kekayaannya dalam pesta tersebut maka masyarakat setempat akan kagum dan hormat kepada orang yang melaksanakan pesta horja tersebut.
Hagabeon artinya baik dalam berketurunan.
Seseorang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikatakan sempurna bukan hanya karena umur dan kekayaan materi, tetapi dilihat dari jumlah keturunannya.
Keturunan adalah dasar penilaian bagi seseorang agar dapat dihormati dan dipestakan.
Artinya bila banyak keturunannya, maka pesta akan terlihat ramai dan meriah.
Hasangapon berarti kemuliaan
Hal ini ditujukan kepada yang dipestakan atau dihorjakan. Semakin tercapai hamoraon dan hagabeon dari setiap keturunan yang dihorjakan tadi, maka semakin ‘sangap’ lah (mulialah) dia dalam pandangan masyarakat sekelilingnya.
Pesta Horja dilaksanakan untuk merayakan atau mengadakan pesta setelah membangun tempat yang menyatukan leluhur ke suatu tempat yang disebut dengan batu na pir atau tugu atau monumen yang dibuat dari batu dan semen.
Adapun upacara Horja dilatarbelakangi suatu keyakinan, yaitu :
- Agar para keturunannya memperoleh berkat dari yang mati, di mana dianggap selalu menyertai dan melindungi keturunannya di dalam setiap kegiatan yang dilakukan
- Dengan penghormatan yang dilakukan keturunannya maka roh orang mati akan dapat diterima di dunia baru yaitu dunia arwah (Lubis, 1985: 119). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Padersen (1975: 23), dimana Padersen mengatakan :
Pemujaan ini didasarkan pada pendirian bahwa peruntungan orang-orang hidup selalu bergantung pada itikad para nenek moyang bergantung pula pada penghormatan dan persembahan kurban yang dilaksanakan oleh orang-orang yang hidup.
Keyakinan ini merupakan motivasi masyarakat Batak Toba untuk melaksanakan upacara tersebut dan mendorong kelompok masyarakat memanifestasikan hak dan kewajibannya sebagai rasa solidaritas kebersamaan dan kegotongroyongan, yang merupakan fungsi dinamis dan kontekstual seseorang berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu (Sitompul, 1983:73).
Biasanya pesta Horja ini didahului dengan upacara Mengongkal holi (menggali tulang belulang nenek moyang dan akan disatukan ke dalam satu tempat yang disebut dengan batu na pir atau tugu yang bangunan kuburannya berbentuk rumah-rumah kecil dibangun dari semen dan batu).
Meskipun hal ini bertentangan dengan ajaran kekristenan, akhirnya tujuan ini disebutkan sebagai penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang mereka.
Hal ini mereka hubungkan dengan hukum Taurat yang kelima dalam ajaran Kristen yaitu :
Ingkon pasangaponmu do natorasmu asa martua ho jala leleng mangolu di tano na nilehoni Debatam diho.
Artinya :
Hormatilah orangtuamu supaya lanjut usiamu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu.
Bentuk penghormatan ini tidak boleh hanya dilakukan selama orangtua hidup, tetapi sesudah orangtua meninggal pun harus tetap dihormati, sehingga dengan melaksanakan pesta Horja tersebut adalah merupakan bentuk penghormatan kepada orangtua mereka.
Dalam Alkitab ajaran agama Kristen upacara atau Pesta Horja ini berpedoman kepada ayat yang ada di dalam Alkitab yaitu:
Dalam Kejadian 50 ayat 25: Sebelum Yusuf meninggal ia menyuruh anak-anak Israel bersumpah, katanya:
Tentu Allah akan memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulang ku dari sini.
Dalam Keluaran 13 ayat 19: Musa membawa tulang-tulang Yusuf, sebab tadinya Yusuf telah menyuruh anak-anak Israel bersumpah dengan sungguh-sungguh: “Allah tentu akan mengindahkan kamu, maka kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini.”
Dalam Kejadian 49 ayat 29: Kemudian berpesanlah Yakub kepada mereka: “Apabila aku nanti dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku disisi nenek moyangku dalam gua yang di ladang Efron, orang Het itu.”
Untuk menghindari kepercayaan animisme yang dilarang gereja, maka Pesta Horja ini harus dihadiri pengurus gereja (pendeta, guru jemaat dan sintua (pelayan gereja).
Hal ini sesuai dengan yang tertulis di dalam Alkitab agama Kristen yang menyatakan: Idama, denggan nai dohot sonang nai, molo tung pungu sahundulan angka namarhaha maranggi. Artinya “lihatlah, alangkah baiknya dan alangkah senangnya, bila semua kakak dan adik berkumpul pada satu tempat.”
Artinya tidak ada lagi perseteruan maupun perselisihan di antara sesama keluarga yang selama ini mungkin ada masalah-masalah dalam keluarga membawa tulang-tulang Yusuf, sebab tadinya Yusuf telah menyuruh anak-anak Israel bersumpah dengan sungguh-sungguh: “Allah tentu akan mengindahkan kamu, maka kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini.”
Artinya tidak ada lagi perseteruan maupun perselisihan di antara sesame keluarga yang selama ini mungkin ada masalah-masalah dalam keluarga keturunan marga yang melakukan pesta Horja.
Urutan Artikel Lengkap Tortor Dalam Pesta Horja :
Sumber/Referensi :
SINAGA, Sannur D.F. 2012. Tortor Dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Struktur Dan Makna. Medan. Program Studi Magister (S2) Penciptaan Dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; MEDAN