Adat merupakan aktivitas sosial yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum bagi manusia yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara untuk mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia.
Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Adat adalah kebiasaan atau ‘hasomalan’ yang berarti aturan-aturan yang dibiasakan.
Maka dari itu tertanam oleh masyarakat Batak Toba bahwa apabila adat ditaati dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak menaati adat tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat).
Menurut Aritonang, seorang teolog kristen (1988:47), adat bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad raya (makrokosmos).
Dalam keseluruhan aspek ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk beluknya kehidupan (Pasaribu, 1986:61).
Adat merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau menjadi hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).
Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi oleh masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.
Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupan masyarakat Batak Toba selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat.
Adat dalam suku Batak Toba merupakan bagian yang harus dipatuhi dan dilakukan.
Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan terdapat empat (4) kategori adat yang dilakukan :
- Komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat yang tersendiri, menunjuk kepada setiap komunitas mempunyai tipologi adat masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih lekat dan kental dibandingkan dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relative lebih individualis dalam menyikapi respon terhadap adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang juga mempengaruhinya.
- Adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya.
Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang telah membudaya dan juga sering dianggap sebagai bagian dari adat isitiadat.
Peraturan perundang-undangan dan hukum agama banyak mengatur kehidupan norma masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.
- Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.
- Pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi.
Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat.
Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilah yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian.
Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu : - Mulajadi Nabolon
- Debata Asi-asi
- Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi.
Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah.
Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat).
Batara Guru berarti maha guru yang member ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10)
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.
Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia.
Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon.
Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.
Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.
Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada.
Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti.
Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, Nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara sesama orang Batak.
Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Sahala tersebut merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah ketika seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh bisa juga hilang.
Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya.
Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usahausaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan.
Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Secara harafiah hasangapon bisa diartikan sebagai terpuji, tauladan, terhormat, atau nyaris tanpa cela.
Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, berarti seseorang tesebut telah menjadi pribadi yang sempurna. Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati.
Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip yaitu :
- Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur yang dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.
- Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir, dan lain-lain.
- Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah.
- Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga. Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki.
Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut, Soerjono Soekanto memberikan penjelasan:
Hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu.
Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba.
Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi perempuan seringkali sulit.
Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah.
Karena sistem marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat mengabadikan marganya.
Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri.
Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru).
Di pihak lain, marga yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih tinggi.
Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang pun berada di atas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga yang mereka anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.
Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan.
- Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri.
Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar, bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot, paraman dari anak lakilaki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao, hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
- Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki, amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki, iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita, lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri, bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan, boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.
- Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan lakilaki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hulahula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.
Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini.
Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan harus dijunjung tinggi.
Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang.
Hula-hula diberi sebutan sebagai debata na ni ida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.