Tor-tor atau tari Tor-tor merupakan tarian yang jika dihayati mempunyai arti begitu dalam pada setiap gerakannya. Penggunaan tari Tor-tor juga dilakukan sesuai dengan sistem kekerabatan yang ada di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Bagi masyarakat Batak Toba, Tor-tor dapat menjadi sarana interaksi hubungan antar sesama manusia Batak sesuai dengan kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu (sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba).
Kegiatan manortor tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Batak Toba. Di dalam upacara religi, Tor-tor dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan maupun permohonan kepada Mula Jadi Na Bolon (Pencipta alam semesta), kepada orang-orang yang dihormati dan orang-orang yang disayangi.
Kemudian untuk upacara adat, Tor-tor dilakukan untuk menghormati maupun menyambut orang-orang yang terlibat dalam upacara adat sesuai kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu, akan tetapi perlu diingat oleh teman-teman www.sibatakjalanjalan.com bahwa setiap akan memulai kegiatan manortor, selalu dimulai dengan penghormatan kepada Sang Pencipta.
Dalam upacara hiburan, Tor-tor dilakukan lebih bebas. Namun tetap dalam ketentuan unsur-unsur Dalihan Na Tolu.
Pada saat ini teman-teman dapat melihat dan menemukan bahwa Gondang Sabangunan kemudian sudah banyak dikolaborasikan dengan alat musik tiup (brass band) hal ini penulis ketahui terjadi setelah masuknya kekristenan ke tanah Batak. Alat-alat musik yang kemudian digabungkan adalah terompet, saxophone, keyboard maupun drum.
Tor-tor dilakukan dalam setiap aktivitas upacara religi, hiburan dan adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Namun jauh sebelum hari ini, tahukah teman-teman sibatakjalanjalan.com bahwa tari Tor-tor dahulu hanya dilakukan pada upacara adat dan religi ?
Dan Mengapa tari Tor-tor dilakukan hanya dilakukan pada upacara adat dan religi ?
Misalnya pada acara adat orang meninggal yang disebut dengan upacara kematian Sarimatua (keturunan orang yang meninggal tersebut masih ada yang belum menikah) dan upacara kematian Saurmatua (semua keturunannya sudah menikah), pesta Horja (biasa disebut pesta tugu yaitu menyatukan pemakaman orangtua dari satu garis keturunan ke suatu tempat yang dibangun dari semen yang tujuannya menghormati leluhur).
Aktivitas manortor selalu diiringi musik Gondang Sabangunan baik dalam kegiatan adat atau religi. Secara keseluruhan aktivitas masyarakat Batak Toba yang menyangkut interaksi antar sesamanya dapat dikatakan selalu diatur oleh adat.
Ada istilah “tektek mula mulani gondang, serser mula mulani Tor-tor” (artinya tek…tek bunyi memulai Gondang, kaki yang bergeser memulai tarian/Tor-tor).
Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain di balik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan setelah di dunia.
Lebih jauh tentang Saurmatua, Saurmatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sarimatua.
Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan.
Dalam melaksanakan suatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap keluarga yang akan melaksanakannya.
Mereka yang bekerja (membantu mempersiapkan dan keberlangsungan acara) pada saat upacara adat adalah pihak boru yang disebut Parhobas.
Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orang tua yang meninggal saurmatua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu laki-laki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan.
Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saurmatua. Pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.
Pada saat upacara di jabu/rumah akan dimulai, mayat dari orang tua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu).
Letaknya berhadapan dengan kamar orang tua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan Ulos Sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk, di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat.
Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua mereka masing-masing. Dan semua unsur dari Dalihan Na Tolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan Ulos.
Upacara di jabu ini biasanya dibuka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 WIB) oleh pengurus gereja.
Kemudian masing-masing unsur Dalihan Na Tolu mengadakan acara penyampaian, seperti halnya kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur Dalihan Na Tolu sedang berlangsung, di antara keturunan orang tua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka.
Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar).
Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).
Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing.
Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat.
Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan.
Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan dan mengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.
Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saurmatua, dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saurmatua akan dimulai.
Kemudian diaturlah posisi masing-masing sesuai unsure-unsur yang ada di Dalihan Na Tolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru di sebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.
Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria).
Semua unsur Dalihan Na Tolu berdiri di tempatnya masing-masing.
Pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan :
- Gondang mula-mula. Gondang mula-mula ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
- Gondang kedua yaitu gondang yang indah dan baik (gondang ini dilakukan tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.
- Gondang Liat-liat, Gondang Liat-liat dilakukan para pengurus gereja dengan menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.
- Gondang Somba-somba, Gondang Somba-somba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.
- Gondang yang terakhir, hasuhuton meminta gondang hasahatan dan sitiotio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan mereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.
Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Na Tolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari :
Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Na Tolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha.
Maksud dari pemberian uang itu dilakukan sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan Gondang Sabangunan.
Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan manortor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa masuk ke dalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi di beberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.
Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru.
Pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.
Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama.
Sehari sebelumnya peti mayat dari orang tua yang saur matua tersebut dibawa ke halaman rumah, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan pada sore hari.
Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orang tua yang saurmatua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan, lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai (pagi hari).
Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiap-siap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman.
Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin.
Lalu kemudian peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman.
Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib Kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur Dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.
Upacara maralaman adalah upacara terakhir sebelum penguburan mayat yang saurmatua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang saurmatua meninggal maka harus diberangkatkan dari antara bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna.
Pada upacara ini posisi dari semua unsur Dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam rumah. Pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengah-tengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan. Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah.
Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang.
Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu gondang (tanpa menyebut nama gondangnya), yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saurmatua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur.
Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.
Kemudian pengurus gereja meminta gondang marolop-olop. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama.
Pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja.
Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang hasahatan tu sitiotio. Semua unsur: Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 (tiga) kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur.
Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru. Sedangkan boru memegang wajah suhut.
Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang mangaliat, dengan memberikan ‘boras si pir ni tondi’ kepada suhut.
Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang.
Kemudian giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau Uang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orang tua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.
Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hula-hula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 (tiga) kali.
Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan.
Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup.
Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dongan sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.
Tor-tor dalam upacara perkawinan dimulai dengan masuknya pengantin ke dalam gedung tempat dilaksanakannya (adat na gok) atau adat yang sepenuhnya.
Pengantin berdiri di pintu masuk bersama keluarga pihak laki-laki. Kemudian dipanggillah terlebih dahulu pihak hula-hula (pihak perempuan) untuk memasuki ruangan diikuti hadirin dan undangan lainnya. Dengan diiringi musik seluruh undangan memasuki ruangan sambil menyalami pengantin dan keluarganya.
Keluarga hula-hula secara umum datang membawa beras di dalam sumpit (tandok). Beras ini disebut sebagai boras sipirni tondi (beras yang menguatkan semangat) dan ditaburkan di atas kepala orang sesuai kedudukannya sebagai penerima beras tadi.
Pada saat manjalo tumpak (sumbangan tanda kasih) gondang akan mengiringi undangan datang menyalami suhut (tuan rumah) dan pengantin memberikan amplop berisi uang sambil berjalan dan manortor.
Tor-tor yang dilakukan oleh muda-mudi yang disebut dengan gondang naposo, dilakukan hanya untuk muda-mudi tanpa melibatkan unsur Dalihan Na Tolu.
Tor-tor muda-mudi ini dilakukan dalam ajang cari pasangan hidup atau mencari jodoh.
Di dalam suatu upacara atau pesta, Tor-tor yang wajib dilakukan adalah Tor-tor mula-mula, Tor-tor somba, Tor-tor mangaliat dan yang terakhir Tor-tor hasahatan/sitio-tio. Sebelum Tor-tor hasahatan/sitiotio atau setelah Tor-tor mangaliat, jenis Tor-tor yang lain dapat diminta dan ditarikan sesuai permintaan undangan yang hadir dan disesuaikan dengan upacara atau pesta yang berlangsung.
Jenis-jenis Tor-tor yang disajikan misalnya :
- Tor-tor Hata sopisik, Tor-tor Hata sopisik adalah Tor-tor yang dilakukan seperti berbisik dan membentuk kelompok-kelompok, dan Tor-tor ini biasa juga disebut Tor-tor marhusip. Iramanya yang cepat dan gembira membuat suasana jadi meriah. Gerakannya lebih bebas tetapi masih dalam motif dasar gerak Tor-tor yang sudah ada.
- Tor-tor didang-didang, Tor-tor didang-didang adalah Tor-tor yang menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.
- Tor-tor malim, Tor-tor malim yaitu menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.
- Tor-tor mulajadi, Tor-tor mulajadi yaitu Tor-tor yang menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada yang Maha Pencipta sumber segala anugerah.
- Tor-tor Haro-Haro, Tor-tor Haro-Haro yaitu Tor-tor kegembiraan sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
- Tor-tor Si bungka pikkiran, Tor-tor Si bungka pikkiran yaitu Tor-tor yang mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam kegagalan, mengajak bergerak dinamis dengan mengutamakan kecerdasan dan mampu menganalisa serta tepat membuat keputusan.
- Tor-tor Si bunga jambu, Tor-tor Si bunga jambu adalah Tor-tor yang biasa ditarikan oleh muda-mudi dengan harapan perkenalan akan berlanjut ke arah membina rumah tangga.
- Tor-tor Si boru, Tor-tor Si boru yaitu Tor-tor yang dilakukan oleh wanita saja untuk membujuk hula-hulanya dalam meminta sesuatu.
Jenis Tor-tor yang ada di luar konteks penyajian Tor-tor si pitu gondang adalah :
- Tor-tor Tunggal panaluan yaitu Tor-tor yang dilakukan oleh para dukun untuk menghindari musibah yang menyerang suatu desa, dengan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.
- Tor-tor Nasiarsiaran yaitu Tor-tor yang ditarikan oleh seseorang yang akan mengalami kesurupan,dan biasanya dilakukan untuk menyembuhkan yang sakit dengan meminta petunjuk kepada Yang Maha kuasa.
- Tor-tor Si pitu sawan yaitu tarian yang memangku tujuh cawan yang dilakukan pada saat pengukuhan raja. Tarian ini berasal dari tujuh putri khayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung Pusuk Buhit bersamaan dengan datangnya Piso Si pitu Sasarung (pisau tujuh sarung).
- Tor-tor Pangurason yaitu tari pembersihan, biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat atau lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut yang dicampur air.
- Tor-tor Elek-elek (lae-lae) yaitu Tor-tor yang dilakukan dalam upacara Mangalahat Horbo Lae-lae, untuk membujuk kerbau yang akan disembelih menuju tiang kayu borotan agar kerbaunya tidak melawan atau marah pada saat upacara akan dilangsungkan.
Secara keseluruhan Tor-tor ini senantiasa diiringi gondang sesuai dengan nama Tor-tor yang ditampilkan.
Tor-tor dilakukan dalam setiap kegiatan adat maupun hiburan bagi masyarakat Batak Toba. Dalam setiap kegiatan itu, Tor-tor memiliki penggunaan dan penyajian yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu.
Tor-tor hula-hula tidak boleh dilakukan boru dan juga demikian sebaliknya, akan tetapi meskipun Tor-tor itu berbeda menurut kedudukannya masing-masing dalam unsur Dalihan Na Tolu, Tor-tor juga memiliki unsur dasar gerak yang hampir sama satu dengan yang lainnya.
Tor-tor hula-hula merupakan gerakan kedua telapak tangan yang diarahkan ke kepala boru dan menyentuh pundak kepada dongan sabutuha sambil berjalan berkeliling. Tujuan dari gerakan ini adalah mamasumasu (memberikan berkat kepada boru dan menyapa untuk dongan sabutuha).
Sebaliknya pihak boru melakukan gerakan Tor-tor dengan posisi kedua telapak tangan dirapatkan posisi menyembah kepada hula-hula sehingga ada pepatah menyatakan (DiTor-tori naso gondangna) artinya (dia manortor tidak sesuai dengan kedudukannya di dalam unsur Dalihan Na Tolu dan hal ini dapat menimbulkan cemoohan dari orang lain).
Tor-tor yang dilakukan ataupun yang digunakan pada saat upacara religi, adat maupun hiburan berbeda penyajiannya dan reportoar lagu yang mengiringinya pun berbeda juga.
Dalam upacara religi memulai Tor-tor selalu dilakukan mangelek pargonsi (membujuk pemain musik), mangido tuani gondang (memohon ijin dan tuah, tujuannya supaya upacara berjalan tanpa hambatan), melakukan urutan Tor-tor dengan reportoar si pitu gondang, melakukan Tor-tor sesuai dengan upacara yang diadakan. Cara manortornya lebih sopan dan terkesan kaku.
Pada acara adat, misalnya dalam perkawinan, penyajian Tor-tor lebih bebas, meskipun tetap dalam keterikatan unsur Dalihan Na Tolu.
Urutan Artikel Lengkap Tortor Dalam Pesta Horja :
Sumber/Referensi :
SINAGA, Sannur D.F. 2012. Tortor Dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Struktur Dan Makna. Medan. Program Studi Magister (S2) Penciptaan Dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; MEDAN