Tentang Julianus Sihombing
Julianus Sihombing (J. Sihombing) lahir pada tanggal 15 Mei 1911 di Sihingkit-Onanbanjang atau saat ini dikenal sebagai Sihikit(Sihikkit) Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
|
Piagam Tanda Kehormatan Julianus Sihombing |
Julianus Sihombing merupakan seorang lulusan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/Pendidikan Dasar yang Lebih Luas) pada tahun 1936 lalu kemudian mengajar di Methodist H.I.S (Hollandsch Inlandsche School) di Rantau Prapat (dahulu Rantau Prapat berada di Sumatera Timur) .
Di dalam diri seorang Julianus Sihombing yang merupakan seorang guru juga seorang putra bangsa Indonesia tentu Julianus Sihombing memiliki kerinduan akan kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan hal ini dibuktikan olehnya pada tiap-tiap pengajaran sejarah yang dibawa Julianus Sihombing, sering ia mengepalkan tangan dan berkata : “Lihatlah kalau kamu rajin belajar nanti kita tidak akan terus menerus dijajah bangsa lain seperti sekarang ini, suatu ketika.. kita orang Inlander (pribumi) ini bisa dan dapat berdiri sendiri tanpa orang lain”
Dengan suara Julianus Sihombing yang lantang, dan sikapnya yang menantang. Julianus Sihombing sama sekali tidak setuju dengan menentang sifat dan sikap setiap penjajahan dari bangsa yang kuat terhadap bangsa yang lemah, karena menurut Julianus Sihombing, sifat menjajah adalah politik busuk yang hanya ingin memeras tenaga dan kekayaan orang lain untuk kepentingannya sendiri.
|
Sertifikat MULO Julianus Sihombing |
Sering pada kelas mata pelajaran sejarah, banyak murid-murid Julianus Sihombing yang juga ikut mengepalkan tangan saat mendengar sang guru menjelaskan, tentang betapa jahat sifat dan motivasi penjajah memperlakukan bangsa "Inlander" (pribumi) pada waktu itu.
Semangat akan ingin merdeka ditimbulkan, dikobarkan terus-menerus oleh Julianus Sihombing kepada murid-muridnya.
Sesungguhnya, sikap dan sifat Julianus Sihombing yang ditunjukkan dan diterapkan kepada murid-muridnya bisa dikategorikan sebagai tindakan melawan Belanda pada saat itu, namun murid-murid Julianus Sihombing memanglah bukan pengadu. Dan jika saja ada yang memberitahukan hal ini kepada Belanda, maka sanksi yang mungkin dikenakan pada Julianus Sihombing adalah dipenjara, dibuang atau bahkan dibunuh.
Tahun 1937 sampai 1938 Julianus Sihombing melanjutkan pendidikannya ke H.I.K (Hollandsch Inlandsche School) Solo, Jawa Tengah saat ini. Setelah lulus Julianus Sihombing mengajar di Christelyik H.I.S (Hollandsch Inlandsche School) Surabaya. Dan pada bulan November 1938 Julianus Sihombing kembali ke Rantau Prapat dikarenakan H.I.S (Hollandsch Inlandsche School) Rantau Prapat memerlukan tenaga guru.
Pimpinan Gereja Methodist H.I.S Rantau Prapat meminta supaya Julianus Sihombing tinggal disana dan Julianus Sihombing setuju, meski dahulu tidak ada guru yang mau tinggal disana.
Tahun 1938 hingga 1940 Julianus Sihombing mengajar di Methodist H.I.S Rantau Prapat. Dan pada tahun 1940 sampai 1942 mengajar sebagai Guru kepala di Sigompulon II di Tarutung (Tapanuli dan saat ini Tapanuli Utara).
Tahun 1942 bulan Februari, tentara Jepang masuk ke Tarutung dan sampai tahun 1944 beliau berjuang terus melalui pendidikan untuk mencerdaskan bangsa.
Tanggal 17 Agustus 1945, adalah hari Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan di Udara keseluruh tanah air dan rakyat Indonesia bersukacita telah bebas dari penjajahan kolonial Belanda.
Tahun 1945 sampai 1946 Julianus Sihombing mengajar sebagai direktur S.M.P(Sekolah Menengah Pertama) di Sibolga
Julianus Sihombing saat sebelum agresi Belanda ke II
Sebagai direktur S.M.P Negeri di Sibolga dan setelah mendengar adanya Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Julianus Sihombing selalu mengadakan kontak dengan Dr. Ferdinand Lumban Tobing beserta tokoh-tokoh pejuang lainnya untuk menentukan sikap di daerah Tapanuli.
|
Ferdinan Lumbantobing Kepala Residen Tapanuli |
Dan kegiatan ini kemudian terus-menerus aktif dengan cara mengadakan pertemuan-pertemuan, menyebarluaskan hasil dan makna dari Proklamasi serta menanamkan semangat juang bagi seluruh lapisan masyarakat serta tindak lanjut perjuangan dalam mempertahankan Negara.
Semangat juang dalam jiwa kepatrotikan yang ditunjukkan oleh Julianus Sihombing dalam situasi pada periode transisi ini membuat Julianus Sihombing diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Tapanuli (DEPERTA) terhitung dari tanggal 27 Juni 1946 dan pada tanggal 11 Juli 1946 disamping Julianus Sihombing sebagai anggota DEPERTA/Dewan Pertimbangan Tapanuli, Julianus Sihombing diangkat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Daerah Sibolga oleh Residen Tapanuli (Ferdinand Lumban Tobing).
Dalam sidang-sidang DEPERTA/Dewan Pertimbangan Tapanuli Di Sibolga, beberapa anggota perwakilan yang mewakili Daerah Kabupaten Tanah Batak (Tapanuli Utara kini) mengusulkan kepada Residen Tapanuli agar Julianus Sihombing diangkat menjadi Camat di Parmonangan. Dan dengan banyaknya pertimbangan daripada pengusul untuk Kecamatan ini, maka sangat dibutuhkan seorang pemimpin yang militan untuk dapat memimpin masyarakat. Dimana kemajuan daerah tersebut cukup tertinggal jika dibandingkan dengan kecamatan tetangga, terutama di bidang sarana perhubungan maupun sarana pendidikan. Dan untuk kemudian mengkoordinir partai-partai serta potensi-potensi lainnya yang ada di masyarakat guna menunjang kemerdekaan RI.
Usul ini kemudian mendapat sambutan baik daripada Residen Tapanuli, sehingga mulai terhitung dari tanggal 1 November 1946 Julianus Sihombing diangkat dan ditetapkan menjadi Camat Kecamatan Parmonangan.
Sebagai seorang Camat, Julianus Sihombing mulai memimpin dan memerintah di Kecamatan Parmonangan dengan awal meningkatkan semangat juang dari masyarakat yang dipimpinnya, agar masyarakat turut berpartisipasi dan aktif membantu pejuang-pejuang digaris depan. Hal ini dilakukan dengan cara memenuhi persediaan perbekalan dan perbaikan sektor perhubungan, kemudian menggiatkan gotong-royong untuk membuka jalan-jalan, yang dimana kegiatan ini dilakukan langsung dan bersama Camat Julianus Sihombing.
Dalam sektor pendidikan, Julianus Sihombing telah berusaha sekuat tenaga agar pada waktu-waktu tersebut, untuk sekolah-sekolah rakyat dibuka kembali dan dikembangkan, sekolah tersebut ditutup karena alasan sebelumnya tidak ada tenaga pengajar.
Dalam menanggulangi masalah pendidikan, Julianus Sihombing menunjukkan sikapnya dengan melakukan pengabdian tanpa pamrih, anak-anak yang telah tamat SD sebelum perang serta anak-anak yang tamat SD sewaktu masa Jepang dipanggil, kemudian dikumpulkan di Parmonangan, mereka dibina, dididik dalam suatu kursus yang dinamakan kursus Guru Cepat.
Kegiatan Guru Cepat ini dilakukan sehabis beliau bekerja di kantor dengan tanpa memungut biaya dari setiap peserta, dan setelah satu tahun hasilnya dapat dinyatakan memiliki dampak positif, karena 80% dari anak-anak yang telah dididik tersebut kemudian diangkat menjadi guru oleh pihak Departemen P dan K sehingga dapat menjadi tenaga pengajar pada SD di Kecamatan Parmonangan dan kecamatan-kecamatan lainnya.
Disamping dengan memajukan pendidikan, Julianus Sihombing juga menggiatkan pembentukan badan-badan koperasi agar masyarakat dapat memperbaiki pendapatan mereka dan mengerti akan pentingnya keberadaan koperasi.
|
Julianus Sihombing sebagai Wedana |
Dalam 11 bulan menjabat sebagai Camat di Parmonangan, Julianus Sihombing telah menunjukkan kemampuannya. Atas prestasi ini Julianus Sihombing diangkat menjadi Wedana di Kewedananan Siborong-borong dengan membawahi 4 Kecamatan :
- Kecamatan Siborong-borong
- Kecamatan Lintong Nihuta
- Kecamatan Muara
- Kecamatan Parmonangan
Sebagai Abdi Negara dan abdi Masyarakat, Julianus Sihombing selalu mengutamakan kepentingan masyarakat daripada dirinya sendiri, karena oleh pendekatan kepada masyarakat dan melalui menjadi Camat yang dipelihara beliau dengan baik, dapat mendorong perjuangan pemuda-pemuda di garis depan untuk berjuang dan berjalan dengan baik, terutama dalam segi pengiriman perbekalan untuk tentara-tentara di garis depan.
Perjuangan Melawan Agresi Belanda ke II
Pada catatan sejarah mengenai apa yang penulis sebelumnya nyatakan, tidak berlangsung lama keadaan tentram yang dijalani oleh Julianus Sihombing di daerah Residen Tapanuli. Hanya berkisar kurang lebih 1 tahun lamanya, pada tanggal 23 Desember 1948 tentara kerajaan Belanda melakukan apa yang disebut dengan Agresi Militer ke II (dua) dengan secara tiba-tiba.
Di daerah Residen Tapanuli sendiri, pada tanggal 23 Desember 1948 kira-kira pukul 10.00 WIB tentara payung Belanda mendarat di Silangit dan Balige, dan pada tanggal yang sama di 23 Desember 1948 kota Siborong-borong telah dikuasai oleh Belanda.
Tentu kabar Belanda yang melakukan Agresi Militer ke-II ini sampai ke telinga Julianus Sihombing selaku Wedana Siborong-borong.
Dilakukan tindakan cepat oleh Wedana Julianus Sihombing dengan beserta stafnya untuk melakukan penyingkiran dokumen-dokumen pemerintah ke daerah yang aman.
Belum tuntas menyingkirkan seluruh dokumen, tempat kediaman Wedana telah dikepung oleh Belanda pada pukul 17:00 WIB di hari yang sama, 23 Desember 1948. Selanjutnya Wedana dan stafnya ditangkap.
Untuk menentramkan penduduk kota Siborong-borong dalam pengawasan dan todongan bayonet, maka Julianus Sihombing dipaksa berpidato dimuka umum agar masyarakat tenang.
Dan keadaan kemudian berubah, rumah dan kantor kewedanaan dikuasai langsung oleh Belanda, dimana Julianus Sihombing beserta keluarga dipindahkan kediamannya ke rumah penduduk, dan di rumah penduduk itulah Julianus Sihombing menunggu hari baik untuk lari.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu menjadi kenyataan, pada pukul 03:00 WIB pada tanggal 24 Desember 1948 disaat penjagaan diluar rumah lengah, maka kesempatan Julianus Sihombing untuk lari ke daerah yang aman, yaitu daerah Butar. Dimana nantinya Julianus Sihombing akan mempimpin perang Gerillya dari Butar.
Menenangkan rakyat dengan tembakan
Semenjak Julianus Sihombing lari dari tawanan, tidak banyak yang dapat beliau lakukan selain menghubungi tua-tua dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, dikarenakan staf daripada Kewedanaan yang Julianus Sihombing pimpin belum dapat terkumpul sepenuhnya, sedangkan bala tentara sedang menyingkir ke daerah-daerah aman selagi masih membenahi diri untuk menyusun kekuatan kembali.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat bingung dan ketakutan dari akibat serangan Belanda di Agresi Militer ke II yang secara mendadak.
Kemudian, di hari yang sama pada tanggal 24 Desember 1948 kira-kira pukul 14:00 WIB terdapat 2 (dua) dari tentara yang melaporkan kepada Wedana di tempat penyingkiran di Simamora Nabolak dengan maksud akan mencari induk pasukan.
Oleh Julianus Sihombing ke 2 tentara ini diminta untuk bergabung dengan rombongan Julianus Sihombing, untuk kemudian melakukan sabotase ke markas Belanda di Siborong-borong.
Dan pada saat posisi daripada rombongan ini dekat dengan markas Belanda di Siborong-borong dan diperkirakan posisi mencakup daripada jarak tembak . Lalu Julianus Sihombing melakukan ‘tembakan pancingan’ dengan Karabyin/Karabin. Sama dengan yang dilakukan oleh Julianus Sihombing turut juga dilakukan oleh salah satu tentara.
Tujuan daripada ‘tembakan pancingan’ yang dilakukan Julianus Sihombing adalah salah satu cara agar penduduk daripada Siborong-borong yakin bahwa TNI telah mengadakan serangan balasan kepada Belanda. Dan hal ini diperkuat oleh serangan membabi buta oleh Belanda, bahkan hingga-hingga menggunakan mortir.
Menurut penulis pribadi (MCS) bahwa cara ini tentu cukup ampuh, dan memang bahwa tidak semua pemimpin dapat memiliki rasa empati yang begitu tinggi kepada rakyatnya.
‘Tembakan Pancingan’ yang dilakukan Julianus Sihombing dilakukan dengan perlahan mundur hingga akhirnya mereka lari sampai di Butar.
Dan tentara-tentara Indonesia yang kala itu terpencar, kemudian mengetahui bahwa Wedana Siborong-borong telah berhasil melarikan diri dari tawanan Belanda, dan juga telah memimpin perlawanan terhadap Belanda, membuat tentara-tentara tersebut kembali menggabungkan diri, untuk bersama Wedana Siborong-borong, Julianus Sihombing.
Perlawanan yang akan dilakukan selanjutnya dengan terlebih dahulu menyusun strategi penyerangan secara gerillya. Dalam pidato pengarahannya Julianus Sihombing berkata :
“Saudara-saudara perang gerillya telah dimulai. Anak-anak kita telah mengadakan serangan pembalasan ke markas musuh (Belanda) dan Saudara-saudara telah menyaksikan sendiri mereka terlibat dalam perang dan bagaimana hasilnya mari kita doakan agar berhasil. Tetapi sambil menunggu kabar saya perintahkan supaya saat ini juga pemuda-pemuda yang berjiwa Republik dan yang bertekad Merdeka atau Mati segera menghancurkan jembatan-jembatan agar Belanda tidak leluasa bergerak” .
Dan pada saat itu juga, berpuluh-puluh pemuda berangkat melaksanakan pengerusakan tersebut dan betul-betul tugas tersebut diselesaikan bahkan sebelum matahari terbit.
Tanggal 25 Desember 1948 Kepala-Kepala Desa yang berdekatan dikumpulkan dan ditugaskan membentuk P.R.U (Pertanian Rakyat Umum) dan mulai sorenya perondaan mulai diaktifkan.
Tanggal 26 Desember 1948 Julianus Sihombing mengadakan kontak ketiap-tiap Camat dan meminta laporan dan kemudian pada tanggal 27 Desember 1948 laporan daripada Camat Dolok Sanggul diterima, laporan itu antara lain melaporkan bahwa Bupati Humbang Bismar Napitupulu telah memihak kepada Belanda begitu juga dengan Wedana Humbang Timur (saat ini Dolok Sanggul) yaitu Walle Hutasoit, sedangkan Patih Kabupaten Humbang, Varis Siahaan menyingkir ke daerah asalnya dan memimpin perjuangan disana.
Setelah menyelesaikan laporan, kurir dikirim menghadap Residen Tapanuli, untuk melaporkan tentang keadaan-keadaan di Humbang, serta meminta petunjuk selanjutnya. Dan laporan tersebut sampai kepada Residen Tapanuli pada tanggal 8 Januari 1949.
Untuk memimpin perjuangan selanjutnya maka Residen Tapanuli pada tanggal 2 Februari 1949, Julianus Sihombing diangkat menjadi Bupati Humbang untuk menggantikan bupati sebelumnya, dan berdasarkan ketetapan ini maka Bupati yang menjabat, Julianus Sihombing menyusun kembali suatu struktur Pemerintahan Kabupaten Humbang yang meliputi 8 Kecamatan, demi kelancaran dan kepentingan perjuangan untuk yang lebih baik.
Adapun 3 Keputusan dan Instruksi Bupati Humbang, Julianus Sihombing, yaitu :
- Supaya ditiap-tiap rumah tersedia beras pertahanan untuk perbekalan dari tentara kita sehingga kapan diminta dengan cepat sudah dapat dikumpul Kepala Kampung.
- Setiap laki-laki yang berumur 17 sampai dengan 40 tahun diwajibkan menjadi anggota P.R.U (Pertanian Rakyat Umum) yang kemudian diberi nama P.R.S (Pertahanan Rakyat Semesta).
- Tugas-tugas pokok sebagai Bupati Humbang R.I telah berjalan baik sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sedang bantuan pengiriman pengangkutan beras keperluan Sektor IV dan Markas Gubernur Militer Tapanuli Sumatera Timur dilaksanakan dengan baik atas dasar gotong royong rakyat. Sektor IV mendatangkan beras kebutuhannya dari daerah Humbang dan dari pasar Sihaporas.
Semenjak penetapan oleh Residen Tapanuli yang menjadikan Julianus Sihombing menjadi Bupati Humbang, hal ini adalah dorongan yang membuat Julianus Sihombing semakin yakin, giat dan sungguh-sungguh. Untuk menggerakkan perjuangan gerillya dengan jalan menggembleng potensi-potensi masyarakat yang ikut dan turut berjuang melawan Belanda di daerah Humbang.
Susunan alat pemerintahan daerah Kabupaten Humbang sudah berjalan dengan baik dan juga kerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terjalin baik dengan bersama-sama mempertahankan R.I/Republik Indonesia.
Perlawanan-perlawanan umum terjadi di beberapa daerah di Kecamatan Lintong ni Huta, Dolok Sanggul, Muara dan Parmonangan. Dimana tentara Belanda sulit menembus pertahanan basis-basis gerillya R.I .
Dalam setiap bulannya diterima laporan dari situasi Perjuangan Rakyat Semesta (PRS) bersama pemerintah kecamatan dan TNI dari tiap-tiap camat yang berada di Kabupaten Humbang. Dan daripada laporan-laporan tersebutlah Julianus Sihombing dapat mengetahui dan merancang strategi perjuangan selanjutnya, dimana hasilnya memang menguntungkan perjuangan.
Perang gerillya memang benar-benar membingungkan pihak Belanda, sehingga tak jarang terjadi vuur contacht atau serangan membabi buta, tujuannya untuk menangkap dan membunuh Bupati Humbang, dan pimpinan-pimpinan daripada TNI dan PRS. Serangan membabi buta atau vuur contacht berakhir dengan rumah-rumah juga hewan-hewan milik rakyat yang dibakar habis.
Salah satu cara yang dilakukan Belanda untuk memperoleh informasi dari Bupati Humbang dan pimpinan TNI juga PRS adalah dengan menangkap rakyat, dan cara-cara siasat yang lain namun terbukti tidak cukup manjur. Sikap rakyat semakin berkobar-kobar pada saat itu, rakyat yakin bahwa perjuangan mereka berarti.
Seringnya, Julianus Sihombing mengadakan perjalanan ke Kecamatan dan Kampung-kampung untuk memperkokoh basis-basis perjuangan. Begitupun juga kepada Gubernur Militer Tapanuli Sumatera Timur Dr. F.Lumban Tobing di Sibolga III yang dimana rute yang dilalui untuk bertemu cukup sulit. Seperti naik gunung, jurang terjal dan sungai-sungai berliku yang luas dan juga deras arusnya.
Pada akhir Juli 1949 rombongan Julianus Sihombing sampai di markas Gubernur Militer Tapanuli Sumatera Timur Dr. F.Lumban Tobing di Sibolga III di Sipakpahikolang dan melaporkan hasil perjuangan di daerah Humbang.
Cease Fire dan Gugurnya Bupati Humbang, Julianus Sihombing
Pada pertemuan Bupati Militer Humbang, Julianus Sihombing dan Gubernur Militer Tapanuli Sumatera Timur Dr. F.Lumban Tobing di Sibolga III, diumumkan bahwa akan terjadi ‘Cease Fire’ (Genjatan Senjata) di bulan Agustus 1949 dan diharapkan Bupati Militer Humbang, Julianus Sihombing untuk menetap dan memasuki kota Sibolga, dengan catatan bahwa Humbang telah sebelumnya aman bila beliau akan memasuki kota Sibolga.
|
Bintang Tanda Jasa Kehormatan |
Dan pada waktu menjelang akan terjadinya ‘Cease Fire’ Belanda menyerang tiap-tiap basis perjuangan dengan cara membabi buta. Termasuk kepada markas Gubernur Militer Tapanuli Sumatera Timur Dr. F.Lumban Tobing di Sibolga III. Belanda datang dari arah Kolang kearah Batuleap Sipakpahikolang.
Dengan segera Bupati Militer Julianus Sihombing, kembali menuju markas di Parmonangan. Pada saat di perjalanan mereka menerima informasi dari PRS dan TNI bahwa Belanda akan melakukan serangan terhadap markas Bupati, namun Julianus Sihombing memutuskan untuk terus menuju Parmonangan.
Dan pada tanggal 10 Agustus 1949 di waktu malam hari, rombongan Julianus Sihombing dikepung dan diserbu oleh Belanda. Diketahui Bupati Militer Humbang, Julianus Sihombing dan Kepala Polisi Humbang, Philemon Sirait ditangkap dan dibunuh. Pelaku daripada tindakan keji ini adalah pihak dari intelejen Belanda yang dikenal sebagai NEVIS.
Inilah akhir dari perjuangan Bupati Militer Humbang, Julianus Sihombing yang jarang diketahui masyarakat Humbang dan Tapanuli. Catatan ini penulis terima dengan bentuk salinan pertama dan diketik dengan mesin tik, belum ada pemberitaan lebih lanjut tentang hal ini. Tapi besar harapan penulis agar Fakta dan cerita perjuangan Julianus Sihombing juga dapat diketahui pomparan/anak cucu keturunan daripada Julianus Sihombing dan Marga/Boru-Bere Sihombing.
Terwujud salam dari penulis untuk semua pembaca sibatakjalanjalan.com
MCS, Penulis.
Referensi tulisan :
SEJARAH RINGKAS PERJUANGAN BUPATI MILITER HUMBANG JULIANUS SIHOMBING
Penyusun :
1. Edward Liberty Silaban (Staf Bupati Humbang, Julianus Sihombing)
2. Israel Simamora (Staf Bupati Humbang, Julianus Sihombing)
Tulisan referensi ini dibuat diperkirakan pada tahun 1978-1983.