Batak
Batak (pada zaman dahulu kala) mempercayai adanya
penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Pencipta tersebut tentu adalah
sebuah karya, yang dimana masyarakat Bangsa Batak mempercayai bahwa adalah Debata Mulajadi Nabolon sang
pencipta tersebut.
PenciptaanNya tak beda jauh dengan penciptaan seperti dapat kita temui dalam
kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab, tepatnya kita dapat temui
dalam kitab Kejadian.
Tetapi khusus untuk penciptaan manusia, sangatlah jauh berbeda. Menurut
legenda Batak, manusia bermula
setelah perkawinan antara si Boru Deak Parujar (salah satu dari 6 anak
perempuan Bataraguru ) dengan Raja Odapodap, mereka dijodohkan
oleh Debata Mulajadi Nabolon sewaktu mereka masih berdiam di Banua Ginjang/Surga (langit
papituhon ).
Karena itulah dahulu ada umpama Batak :
"Timus gabe ombun, ombun jumadi
udan, mula ni tano dohot jolma ima sian si Boru Deak Parujar".
Dalam kepercayaan Batak,
langit terdiri dari 7 lapis yaitu :
- Langit Pertama, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa
hidupnya selalu melakukan hal-hal yang terbalik dari aturan ( suhar
pambaenan ).
- Langit Kedua, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa
hidupnya selalu mencuri, merampok.
- Langit Ketiga, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa
hidupnya selalu panjang lidah, suka membicarakan orang lain ( siganjang dila
).
- Langit Keempat, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa
hidupnya memfitnah, lintah darat. Di sini juga tempat hukuman roh orang yang
bunuh diri.
- Langit Kelima, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya
suka menolong orang yang tidak punya ( dermawan ).
- Langit Keenam, adalah tempat pertimbangan/ putusan Bataraguru
terhadap manusia yang akan lahir. Menurut leluhur Batak, manusia yang mau lahir ke dunia akan meminta dan bertanya
lebih dahulu kepada Bataraguru bagaimana
hidupnya nanti setelah lahir.( Dolok Martimbang hatubuan ni horahora, Debata
na di ginjang suhat-suhat ni hita jolma ).
- Langit Ketujuh, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya
baik, suci/percaya, tempat Mulajadi Nabolon, dan inilah surga.
Setelah perkawinan si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-Odap,
lahirlah anaknya kembar dampit ( marporhas ). Laki-laki dinamai Raja Ihat Manisia dan yang perempuan
dinamai Boru Itam
Manisia. Mereka bertempat tinggal di Sianjur Mula-Mula.
Pada saat penghuni langit ( Banua
Ginjang ) datang mengunjungi mereka, Si Boru Deak Parujar dan Raja
Odapodap ikut naik ke langit (Banua
Ginjang ), tetapi Debata Asiasi
dan si Boru Naraja Inggotpaung
tinggal bersama Raja Ihat Manisia dan
si Boru Itam Manisia di Sianjur Mula-Mula.
Setelah besar, Raja Ihat Manisia kawin,
tetapi tidak jelas siapa dan darimana istrinya, apakah kembarannya atau anaknya
si Boru Naraja Inggotpaung, yang
jelas mereka mempunyai anak 3 orang yaitu : Raja Miok-miok, Patundal
Nabegu dan Aji Lampas- Lampas.
Karena perebutan harta dan selisih paham, ketiga bersaudara itu
bertengkar, akhirnya si Patundal Nabegu
dan Aji Lampas-Lampas meninggalkan Sianjur
Mula-Mula, tidak diketahui kemana perginya.
Inilah permulaan Sejarah Batak
yang merupakan keturunan dari Raja Ihat
Manisia.
Kalau Raja Ihat Manisia sebagai manusia pertama dalam sejarah dan
legenda Batak, lantas bagaimana hubungannya dengan si Raja
Batak ?
Menurut Legenda (mungkin juga Sejarah ) antara Raja Ihat Manisia dengan si RAJA
BATAK terdapat 5 generasi. Jelasnya anak Raja Ihat Manisia seperti diterangkan pada bagian Pertama ada 3
orang, yaitu Raja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Aji Lampas-lampas (sebagian mengatakan Aji
Lapaslapas).
Setelah perpisahan ketiga bersudara itu kawin (tidak diketahui
dengan siapa ) dan mempunyai anak Engbanua. Anak Engbanua ada 3 orang
yaitu : Raja Ujung, Eng Domia (Raja Bonang-bonang) dan Raja
Jau.
Konon, Raja Ujung adalah
leluhur orang Aceh, Raja Jau adalah
leluhur orang Nias, sedangkan Eng Domia adalah
leluhur orang Batak, artinya menurut
legenda ini maka orang Aceh
adalah saudara tua (abang ) orang Batak
dan orang Nias adalah adik
orang Batak, tetapi ada juga
pendapat bahwa leluhur orang Nias adalah Raja
Isumbaon (anaknya si Raja Batak ).
Raja Bonangbonang mempunyai seorang anak yang dinamai Raja Tantan Debata. Dari perkawinan Raja Tantan Debata lahirlah si Raja Batak.
Si Raja Batak kawin dengan
putri dari Siam, sebagian
mengatakan kawin dengan manusia jadi-jadian, tetapi kalau kita berpijak pada
sejarah ada benarnya bahwa istri si Raja
Batak berasal dari Siam (Benua Asia Kecil ). Anak si Raja Batak ada 2 orang, yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulansering juga disebut dengan Ilontungan alias si Mangarata,
alias Toga Datu.
Semasa remaja, Guru Tatea Bulan
mendapat warisan benda-benda pusaka pemberian “tulangnya” dari Siam
yaitu berupa : tombak siringis, batu martaha dan cincin yang cocok pada semua jari tangannya.
Guru Tatea Bulan kawin dengan Sibaso Burning , yang menurut versi keturunan Borbor Marsada adalah anak gadis manusia primitif yang sudah ada di daerah Sumatera, tetapi sebagian versi mengatakan
bahwa Sibaso Burning adalah putri
jadi-jadian (boru ni homang).
Karena kemampuan dan kesaktiannya, Guru Tatea Bulandapat
mengajari istrinya menjadi orang beradab. Dari perkawinannya mereka mempunyai 5
orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Mereka adalah : Raja Biakbiak (Raja Miokmiok), Tuan Saribu
Raja (Ompu Tuan Rajadoli), Limbong Mulana, Sagala Raja dan SiLau Raja
, sedangkan putrinya adalah : Si Boru
Biding Laut (diyakini Nyi Roro Kidul)
, Si Boru Pareme, Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan ,
sedangkan seorang lagi yaitu Nantinjo
konon adalah Waria (Banci ) pertama dalam Legenda dan Sejarah Batak.
Menurut cerita, Tuan Saribu Raja
dan Si Boru Pareme lahir kembar
dampit (marporhas). Raja Isumbaon adalah manusia
misterius, tidak ada yang tau cerita dan keberadaannya, tetapi kemudian
disebutkan dari perkawinannya lahir 3 orang anaknya yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.
Dari cerita di atas jelas terlihat bahwa marga pertama dalam
Silsilah/Tarombo orang Batak
adalah marga Limbong dan marga Sagala.
Pertanyaan akan selalu muncul mengikuti logika, Raja Batak mempunyai 2 orang anak, tidak disebutkan mempunyai anak
perempuan, pertanyaan yang paling lumrah adalah : Anak Perempuan siapa yang
menjadi isteri mereka, kalau memang manusia juga, berarti pada masa itu sudah
ada manusia lain selain keluarga si Raja
Batak.
Seperti di sebutkan pada Episode II, isteri Guru Tatea Bulanada yang mengatakan dari kelompok orang primitif yang sudah ada di sekitar Danau Toba, dan pendapat lain mengatakan
keturunan makhluk jadi-jadian (boru ni
homang ).
Pertanyaan seperti itu juga muncul pada masa kekinian setelah orang Batak mengenal agama monotheis ( Kristen dan Islam ),
pada zaman penciptaan manusia Adam dan Hawa yang mempunyai anak Kain, Habel dan Set. ( baca Kejadian: 4 dan 5 ), lantas siapa dan anak siapa istri
Kain dan Set? Ok, hal itu tidak perlu diperdebatkan karena sudah menyangkut
masalah keimanan seseorang.
Guru Tatea Bulandan Raja
Isumbaon setelah berkeluarga, meminta hak kepada ayahandanya si Raja Batak, tetapi pada masa itu belum
banyak harta benda yang bisa diserahkan si Raja
Batak kepada kedua anaknya, dan memang juga bukan harta benda yang mereka
minta, tetapi ‘sangap’ dan ‘kesaktian’.
“Berikanlah kepada kami yang belum
pernah kami lihat dan yang belum pernah kami ketahui”,
kira-kira demikianlah permintaan Guru
Tatea Bulandan Raja Isumbaon. Si
Raja Batak walaupun punya kesaktian,
tetapi dia tidak bisa memberikan apa yang diminta anaknya, karena itu dia
meminta kepada kedua anaknya agar bersabar dan sama-sama memohon (martonggo)
kepada Mulajadi Nabolon Debata Natolu
agar diberikan “ sahala tua sahala
harajaon “.
Debata Natolu Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan
doa mereka, maka dikirimkanlah 2 (dua) buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama tulisan arang ( tombaga agong ) yang menjadi bagian Guru Tatea Bulan berisi tentang ilmu: Perdukunan/Pengobatan,
Kesaktian, Seni pahat , Kekuatan, juga ilmu beladiri (parmonsahon) dan ilmu menghilang (pangaliluon).
Pada gulungan kedua surat tombaga
holing berisi tentang ilmu : Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan
dagang.
(Tentang Surat Batak ini
sedikit ada kontroversi, apakah memang sudah ada pada saat si Raja Batak atau beberapa generasi berikutnya, dan apakah diturunkan
oleh Debata Natolu Mulajadi Nabolon
kepada si Raja Batak atau diciptakan
oleh manusia. Hal ini masih menjadi simpang siur).
Salah seorang keturunan Guru
Tatea Bulan adalah Raja Biak-biak
(Raja Miokmiok), kelahirannya
disertai guruh, hujan lebat dan angin puting beliung, namun setelah lahir
alangkah kaget dan kecewanya si Guru
Tatea Bulan dan istrinya si boru Baso
Burning, karena yang lahir tidak sempurna sebagai manusia, tidak punya kaki
dan tangan.
Dia tidak bisa duduk, hanya bisa berguling-guling, karena itu Raja Biak-biak dinamai juga Raja Gumeleng-geleng (guling-guling).
Pada suatu waktu, Mulajadi
Nabolon Debata Natolu turun ke bumi (Sianjur Mula-Mula) dan mencobai
iman (haporsean) Guru Tatea Bulan. Mulajadi Nabolon meminta agar Guru
Tatea Bulan menyerahkan anaknya Saribu
Raja untuk dipotong dan dipersembahkan.
Guru Tatea Bulan mengatakan,
Datangnya dari Tuhan (Mulajadi Nabolon Debata Natolu ), kalau
Mulajadi Nabolon meminta, saya tidak
berhak menolak.
Mendengar itu Raja Biak-biak
berpikir bahwa dialah yang akan dipotong/dibunuh, dibandingkan Saribu Raja yang sempurna, dia tidak
ada harganya, maka dengan tergesa-gesa dia meminta kepada ibunya agar menyuruh
ayahandanya menyembunyikan dia. Guru
Tatea Bulan pun menyembunyikan dia di Gunung/Dolok Pusuk Buhit.
Saribu Raja jadi dipotong dan dipersembahkan, tetapi
karena Guru Tatea Bulan ikhlas dan Saribu Raja tidak menolak menjadi
korban persembahan, Mulajadi Nabolon
menghidupkan dia kembali serta memberikan berkat (pasu-pasu).
Mulajadi Nabolon datang dan pergi selalu dari puncak Dolok
Pusuk Buhit, maka ketika dia mau kembali ke Banua Ginjang melalui Dolok Pusuk Buhit, dia melihat Raja Biak-biak ada di situ. Raja Biak-biak memohon kepada Mulajadi Nabolon agar disempurnakan, Mulajadi Nabolon pun mengabulkan
permohonan Raja Biak-biak, diberi
tangan, kaki, bahkan diberi sayap, ekor dan mulutnya seperti (maaf) moncong
babi. Pada saat itu Mulajadi Nabolon
berkata :
Walau bentuk tubuhmu tidak
sempurna seperti manusia biasa, tetapi kamu punya keistimewaan, tidak akan
pernah tua, tidak akan mati dan kamu akan menjadi perantara manusia yang akan
memberikan persembahan kepadaku, kuberi kamu gelar Raja Hatorusan atau juga Raja
Uti .
Dengan kemampuannya Raja
Biak-biak/Raja Miok-miok/Raja Gumeleng-geleng/ Raja Hatorusan/ Raja Uti dapat pergi kemanapun sesuka hatinya, namun pada awalnya
dia pulang ke Sianjur Mula-Mula, kemudian ke Aceh dan ke bagian
selatan Tapanuli ( Barus ).
Telah disebutkan di atas bahwa Tuan
Saribu Raja lahir kembar dampit dengan Si
Boru Pareme, di kemudian hari rasa cinta tumbuh diantara keduanya dan
mereka pun melakukan perkawinan incest (sedarah terlarang), inilah
mungkin salah satu peringatan bagi masyarakat Batak sekarang apabila mempunyai anak yang lahir kembar dampit
selalu dipisahkan pengasuhannya agar tidak terjadi sebagaimana antara Tuan Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
Dari perkawinan antara Tuan
Saribu Raja dengan Si Boru Pareme,
lahirlah serang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Si Raja Lontung . Si Raja
Lontung lahir di tengah hutan rimba yang belum pernah didatangi manusia,
karena Si Boru Pareme dibuang oleh
saudaranya karena malu dengan perbutannya.
Tetapi ada juga yang berpendapat
bahwa Si Raja Lontung adalah
keturunan Si Boru Pareme dengan Babiat Sitelpang yang selalu datang
membawa makanan kepada Si Boru Pareme,
karena Si Boru Pareme menolong
mengambilkan tulang yang tersangkut di mulut harimau itu. Kalau pendapat ini
benar, timbul pertanyaan :
Mengapa dan apa penyebab Si Boru
Pareme berada di tengah-tengah hutan belantara ?
Karena tidak mempunyai alasan yang kuat, maka pendapat lebih
cenderung mengatakan bahwa Si Boru
Pareme memang dibuang oleh saudaranya ke hutan belantara ( tombak longo-longo, harangan rimbun rea parhais-haisan ni babiat paranggun-anggunan ni
homang) karena telah diketahui saudara-saudaranya telah melakukan perbuatan
terlarang, dan di hutan bertemu dengan Babiat
Sitelpang seekor Harimau dimana ketika itu Si Boru Pareme menolong Harimau mengambilkang tulang yang
tersangkut di mulut harimau itu dan mulai saat itu Babiat Sitelpang turut dalam menjaga Si Boru Pareme hingga lahirnya Raja
Lontung sampai besar. Sedangkan si Saribu
Raja menurut cerita pergi setelah adik bungsunya Lau Raja memberitahukan kepada abangnya Saribu Raja kalau abangnya Limbong
Mulana dan Sagala Raja berniat
membunuhnya karena telah melakukan hal yang dianggap tidak pantas.
Tuan Saribu Raja adalah orang yang tidak betah berdiam diri di
suatu tempat, dia selalu berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dan di
daerah baru itu beberapa kali dia kawin lagi.
Adalah Nai Mangiring Laut , salah satu istrinya, dikatakan adalah manusia
peliharaan lelembu (homang), dari perkawinannya dengan Nai Mangiring Laut lahirlah Si Raja Borbor.
Setelah anaknya lahir Tuan Saribu Raja membawa mereka ke
suatu tempat di luar Sianjur Mula-Mula, tempat itu sekarang dikenal
dengan Parik Sabungan.
Sampai saat ini masih ada kontroversi diantara keturunan Tuan Saribu Raja, siapa yang lebih
dahulu lahir antara Si Raja Lontung
dan Si Raja Borbor. Kalau dalam
sejarah dan Tarombo Borbor Marsada,
yang lebih duluan lahir adalah Si Raja
Borbor yang otomatis menjadi siabangan (sihahaan),
konon menurut cerita sewaktu Nai
Mangiring Laut mengandung, Si Boru
Pareme datang menggoda saudaranya Tuan
Saribu Raja dan terjadilah hubungan terlarang.
Di lain tempat (di daerah Barus sekarang), Tuan Saribu Raja juga mempunyai isteri yang tidak jelas diketahui
asal-usulnya, sebagian mengatakan putri
Tamil, sebagian lagi mengatakan keturunan harimau, dari perkawinannya
lahir anaknya laki-laki yang dinamai Raja
Galeman atau digelari juga dengan Sibabiat.
Dari cerita di atas jelaslah bahwa keturunan Tuan Saribu Raja ada 3 orang yaitu : Lontung, Borbor dan Sibabiat. Dari ketiga orang tersebut,
dikemudian hari berkembang marga-marga yang sekarang kita kenal dengan kumpulan
marga : Naimarata, Borbor
Marsada dan Lontung Marsada.
Telah diterangkan di atas, Guru
Tatea Bulan mempunyai 4 orang anak perempuan, selain Si Boru Pareme yang dua lagi adalah Siboru Anting Haomasan dan Siboru
Sinta/Sanggul Haomasan. Kedua wanita ini kawin dengan Tuan Sorimangaraja anak dari Raja
Isumbaon. Isteri Tuan Sorimangaraja
sendiri ada 3 orang, yaitu Si Boru
Paromas/Si Boru Anting Malela, Si
Boru Anting Haomasan, dan Si Boru
Sinta/Sanggul Haomasan. Sedangkan Si
Boru Biding Laut diperkirakan adalah Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan.
Pada masa itu, keturunan si RAJA
BATAK terbagi atas 2 kelompok, keturunan Guru Tatea Bulan disebut dengan Ilontungon sedangkan keturunan dari Raja Isumbaon disebut Sumba.
Dikemudian hari, dari 2 kelompok tadi berkembang menjadi 5 kelompok yang
menjadi Induk Marga-Marga Batak yang
ada sekarang, dengan catatan bahwa keturunan dari Raja Asi-asi, Sangkar
Somalidang, Toga Laut dan
keturunan Saribu Raja dari isteri
ketiga yaitu Raja Galeman (Sibabiat) belum termasuk, karena
keturunan mereka tidak jelas keberadaannya dan patut diduga ada di daerah Asahan,
Langkat, Karo, Deli Serdang, Binjai dan di Aceh ( Tapak Tuan,
Takengon dan Kutacane).
Salah seorang boru dari Guru
Tatea Bulan ialah Nantinjo yang
dikatakan sebagai Banci/Waria pertama
dalam sejarah dan legenda orang Batak.
Orang mengatakan
bahwa dia sebenarnya berjenis kelamin laki-laki tetapi pembawaan dan tingkah
laku layaknya perempuan sebagaimana waria yang kita kenal sekarang. Guru Tatea Bulan dan saudara-saudaranya memaksa dia supaya berumah tangga, pada mulanya Nantinjo masih bisa memberi alasan,
tetapi kemudian di belakang hari dia tidak bisa lagi mengelak anjuran dan
paksaan abangnya.
Dia masih berusaha untuk menolak dengan meminta ‘sinamot’ sebanyak satu perahu penuh
emas, dengan harapan tidak ada yang sanggup
memberikannya, ternyata dia keliru. Ada saja orang yang datang melamar dia
dengan ‘sinamot’ sebanyak yang
dia minta, Nantinjo tidak bisa
mengelak, diapun dibawa oleh “suaminya” menyeberangi danau ke tempat mertuanya.
Di perjalanan, Nantinjo berpikir bahwa sesampai di
tempat mertuanya ‘dunia’ akan geger
apabila masyarakat mengetahui cacatnya. Maka dengan putus asa, dia berdoa (martonggo) ke Boru Saniangnaga dan Mulajadi
Nabolon Debata Natolu :
O ale ompung Mulajadi Nabolon, Debata Natolu na di Banua
Ginjang dohot ho Boru Saniangnaga pangisi ni Banua Toru, ompuompu ni hunik nama
au tinuhor sian onan, dang bulung ni dulang dang bulung ni rias, ompu ni
hinalungun soada tudosan, napaila damang molo tarboto tihas, tagonanma langge
padopado sikkoru, tumagonan ma mate daripada mangolu, buatton ma au begu luahon
au sombaon ai sudena on soboi be hutaon .
Setelah berkata demikian, Nantinjo
melompat ke tengah danau dan tenggelam.
Pada saat berangkat dari Sianjur Mula-Mula, dia dibekali dengan
alat tenunnya yang selalu dia pakai semasa ‘gadisnya’ bersama “buluhot” (pangunggasan yang terbuat dari bambu), setelah Nantinjo tenggelam, semua peralatan itu mengapung sehingga orang
yang menemukan mayat Nantinjo juga
menemukan semua peralatan tenun tersebut dan membawanya ke darat.
Nantinjo dimakamkan di Malau
bersama semua peralatannya, dikemudian hari dari makamnya “buluhot” tersebut tumbuh bambu besar (bulu godang) yang ada sampai
saat ini di Tiga Malau dekat Simanindo, dan tempat tersebut sampai
sekarang dianggap sebagai tempat keramat.
Telah diterangkan di atas bahwa Raja
Isumbaon ada 3 orang yaitu : Tuan
Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri, 2 orang diantaranya
adalah putri Guru Tatea Bulan yaitu Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan. (Kalau
jaman kekinian tentunya itu terlarang, karena dia mengambil isteri dari putri
Bapatuanya, tetapi pada masa itu karena memang penduduk disekitar danau Toba
masih sangat jarang, hal tersebut adalah lumrah).
Masih menjadi
kontroversi karena berbagai versi dimana versi umum dikatakan istri Tuan Sorimangaraja adalah 3, si Anting Homasan yang dikenal si Boru Paromas (Naiambaton), si Boru Biding
Laut (Nairasaon), dan Si Boru Sanggul Haomasan (Naisuanon), dimana tidak diketahui asal
usul Si Boru Sanggul Haomasan, namun
menurut sumber ini dikatakan boru Guru
Tatea Bulan hanya 4 sesungguhnya adalah 5 dimana siakkangan adalah si Boru Biding Laut, dan Si Boru Sanggul Haomasan adalah boru ni
Guru Tatea Bulan, sedangkan si Boru Paromas/si Boru Anting Malela tidaklah sama dengan
Si Boru
Anting Haomasan boru ni Guru Tatea Bulan
melainkan si Boru Anting Malela/si Boru Paromas ini bukanlah boru dari Guru Tatea Bulan namun dari pihak lain
yang belum diketahui informasinya (informasi ini bisa kita lihat dari tarombo
ni Borbor atau lagu tarombo ni Borbor).
Dari isteri pertama Tuan
Sorimangaraja dia mempunyai anak yang dinamai Tuan Sorba Dijulu (Nai
Ambaton) dan dari dari isteri kedua juga seorang, Tuan Sorba Dijae (Nai Rasaon),
dari isteri ketiga Tuan Sorimangaraja
mempunyai anak dan diberi nama Tuan
Sorba Dibanua (Nai Suanon).
Ketiga isterinya dengan panggilan nama anaknya lebih terkenal daripada Tuan Sorimangaraja sendiri, hal ini
terjadi karena Tuan Sorimangaraja
adalah orang tidak betah berdiam diri, dia berkelana dari satu daerah ke daerah
lain sambil memberikan pengobatan kepada orang-orang yang memerlukan
kepintarannya.
Isteri ke 3 Tuan Sorimangaraja
yaitu Si Boru Sanggul Haomasan lebih
duluan melahirkan daripada isteri ke 2 (Si
Boru Anting Haomasan), karena itu Si
Boru Anting Haomasan selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”.
Dalam “andungnya” sering sekali keluar
kata-kata penyesalan, kata-kata putus asa, karena pada masa itu seorang wanita
yang sudah kawin belum dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan
keturunan untuk menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon Debata Natolu belum
memberikan Si Boru Anting Haomasan
keturunan untuk membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna.
Tentunya
sekarang pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai
keturunan tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami,
kendati demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu
dijadikan pembenaran untuk berpoligami.
Demikianlah Si Boru Anting
Haomasan, setiap hari sebelum matahari terbit, dia sudah pergi ke pinggir
danau, siang hari bernaung di bawah pohon besar “beringin na mardangka tu langit”, di malam hari selalu menyendiri “songon tandiang na hapuloan”.
Tidak
pernah terlihat ceria di wajah Si Boru
Anting Haomasan.
Sebagaimana diceritakan bahwa Si Boru Biding Laut lama tidak diberikan
keturunannya, dalam keputus-asaannya di menceburkan
diri ke danau, tetapi dia tidak tenggelam.
Tubuhnya terombang-ambing di danau
kian kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan
kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya terdapar di
daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke arah Dolok Pusuk
Buhit.
Ternyata Tuan Sorimangaraja
sedang mencarinya di sekitar Sianjur Mula-Mula, karena tidak ketemu,
diapun menyeberangi danau sambil “martonggo”
agar Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Si Boru Anting Haomasan.
Doanya terkabul, diseberang danau dia menemukan Si Boru Anting Haomasan dalam kebingungannya, dia membawa isterinya
kearah “habinsaran”.
Disuatu tempat
yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja
mendirikan (mamukka) pemukiman bagi
mereka. Tetapi memang dasarnya Tuan
Sorimangaraja yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun meninggalkan
perkampungan mereka, berkelana entah kemana.
Anak Tuan Sorimangaraja, si Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang tanpa pengasuhan ayahnya, demikian juga
dengan si Rasaon yang kemudian
dilahirkan dari rahim Si Boru Anting
Haomasan.
Mereka tumbuh jadi pemuda yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja sangat jarang
bertemu dengan mereka, demikian juga dengan orang-orang yang ada di sekeliling
tempat mereka tinggal, maka ketika ada yang bertanya siapa pemuda-pemuda yang
gagah tersebut, maka yang lain selalu menjawab : anaknya Nai Ambaton untuk si Ambaton, anaknya Nai Suanon untuk si
Suanon, anaknya Nai Rasaon untuk si Rasaon.
Bermula dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih
mengenal mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan Naiambaton, Nairasaon
dan Naisuanon. Keturunan mereka
menjadi kelompok marga-marga di kemudian hari.
Dengan demikian maka kelompok
marga-marga Batak menjadi 5 induk,
yaitu :
- Kelompok Lontung, untuk keturunan Si Raja Lontung anak Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
- Kelompok Borbor, untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, SiLau Raja ( MaLau Raja ) dan Si Raja Borbor anak Saribu Raja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang ini sering disebut dengan BORBOR MARSADA.
- Kelompok Naiambaton, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama Si Boru Anting Malela ( Si Boru Paromas ) , sekarang ini sering disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Naiambaton).
- Kelompok Nairasaon, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua Si Boru Anting Haomasan, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
- Kelompok Naisuanon, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga Siboru Sinta/Sanggul Haomasan.
Dari 5 kelompok marga-marga tersebutlah
penyebaran marga-marga yang kita kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan :
Bagaimana dengan keturunan Raja Asi-Asi
dan Sangkar Somalidang ? Menurut cerita, kedua
anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke
arah Dairi dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan
merekalah marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada cerita berikut, tidak semua marga-marga
akan diterangkan, dan kebenaran dari cerita-cerita itu kembali kepada
masing-masing marga, karena pada dasarnya Legenda adalah cerita rekaan
(khayalan) yang bisa benar bisa tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut
pernah beredar di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita
Legenda adalah : Tidak Lebih Dahulu Apriori/Kontra apabila cerita
tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau pernah kita dengar.
Penolakan terhadap legenda akan membuat kita tidak akan dapat mendalami dan
memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada cerita tersebut.
Perlu juga
disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi keimanan
seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk kembali ke “hasipelebegu on“ karena nilai-nilai pada
cerita/legenda Batak adalah
filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.
Baca juga artikel menarik lainnya :